Search This Blog

Home » » Cerita di Balik Sepasang Sepatu (SM-3T)

Cerita di Balik Sepasang Sepatu (SM-3T)

Posted by ®Ugiw Blog on November 12, 2013

Oleh: Resti Yustiani Surawisastra
 (SM-3T UPI Aceh Timur-Julok Rayeuk Utara)

Kisah ini merupakan cerita beberapa siswa di SDN 5 Julok Rayeuk Utara yang lebih dikenal dengan sebutan “anak selatan”. Anak selatan merupakan sebutan untuk seluruh anak yang tinggal di daerah yang dinamakan selatan yang bersekolah di SDN 5 Julok Rayeuk Utara, sekitar 5-7 km jarak daerah tersebut dari SDN 5 Julok Rayeuk Utara. Hampir 50% siswa di sekolah ini berasal dari daerah selatan. Total anak selatan yang bersekolah di SDN 5 Julok Rayeuk Utara ialah sekitar 18 siswa, sehingga bisa kita perkirakan berapa jumlah seluruh siswa SDN 5 Julok Rayeuk Utara. Ayooo sekarang tebak berapa jumlah seluruh siswa Sekolah ini?. Yaaa... tidak lebih dari 40 jumlah siswa yang bersekolah di SDN 5 Julok Rayeuk Utara.  Dan tidak lebih dari 25 siswa yang datang ke sekolah setiap harinya. Walaupun sebenarnya yang saya tahu bahwa kepala sekolah menyebutkan jumlah siswa di sekolah tersebut sekitar 70 orang, mungkin 30 siswa lainnya itu adalah bayangan dari 40 siswa yang ada hehehe. Dengan berbagi alasan setiap harinya selalu saja banyak siswa yang tidak datang ke sekolah. Pernah suatu hari hanya 10 orang yang hadir karena seluruh anak selatan tidak masuk sekolah hari itu. Setiap musim hujan memang anak selatan jarang sekali masuk sekolah. Jarak yang harus mereka lalui dengan berjalan kaki membuat mereka lebih memilih tidak masuk sekolah saat hujan turun di pagi hari.
Gambar salah jalan becek yang biasa anak-anak selatan lewatin ketika berpergian ke sekolah
Begitu malu diri ini saat melihat semangat anak-anak selatan yang setiap hari harus menempuh jarak 5-7 km atau kurang lebih satu jam perjalanan untuk sampai ke sekolah dengan berjalan kaki menembus lebatnya Hutan karet dan kelapa sawit disertai dengan basahnya tanah julok. Jam sudah menunjukan pukul 07.30 WIB, setiap hari di jam itu tak sabar rasanya saya untuk mengintip di sela-sela jendela kamar melihat anak-anak selatan yang dengan ceria berlarian menuju halaman belakang Mesjid Baiturahman. Jangan berpikir Mesjid Besar Baiturahman yang ada di Banda Aceh yaaa... tapi Mesjid ini berada tepat didepan rumah yang menjadi tempat tinggal saya selama satu tahun kedepan. Mesjid ini tak jauh dari sekolah, yaaa.. memang tidak jauh karena jelas sekolah berada tepat dibelakang rumah tempat tinggal saya. Aneh memang, tempat pertama yang mereka tuju bukanlah sekolah melainkan halaman belakang Mesjid dimana terdapat bak ukuran besar tempat menampung air. Disanalah mereka terlihat berebutan mengambil air dengan gayung untuk membersihkan kaki-kaki mungil mereka yang terselimuti lumpur bercampur segala jenis kotoran dan bakteri yang menempel sewaktu mereka berjalan kaki menuju sekolah. 
Gambar Mesjid Baiturrahman
Anak-anak selatan lebih mudah dibedakan dari anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah. Mereka lebih terlihat lusuh karena pakaian yang mereka kenakan sering kali disimpan dalam keadaan kusut didalam tas. Aroma yang khas dari anak selatan adalah aroma keringat yang muncul akibat lelahnya perjalanan menuju sekolah dengan berjalan kaki sejauh 5 km setiap harinya. Kulit yang kasar dan terlihat beberapa luka baik itu di tangan atau kaki yang seringkali disebabkan oleh terkena batang kayu yang tajam atau pecahan kaca di jalan saat mereka berjalan tanpa alas kaki. Tidak hanya luka di kaki mereka pun sering terlihat borok dan peyakit kulit lainnya. Hal lucu lainnya yang sering saya temukan pada jam sekolah adalah beberapa anak akan menjawab lupa membawa sepatu saat saya bertanya kenapa mereka tidak mengenakan sepatu ke sekolah. Mungkin terdengar aneh untuk beberapa orang yang terbiasa mengajar di kota dimana siswa-siswa nya lebih menjaga penampilan mereka. Tapi hal ini benar-benar terjadi, bukan hanya Buku PR atau alat tulis yang tertinggal tetapi di tanah julok ini siswa lebih sering tertinggal sepatu di rumah.
Gambar Bak mandi yang biasa dipakai anak-anak selatan membersihkan kaki mereka

Gambar anak selatan baru tiba disekolah dari rumah mereka
Mungkin sering kita dengar tentang siswa yang tidak mengenakan alas kaki saat pergi ke sekolah di beberapa daerah di Indonesia. Tapi jujur baru kali ini saya melihat secara langsung dengan kedua mata saya hal itu benar-benar terjadi dan bukan lagi sebuah cerita yang hanya saya dengar, saya lihat di televisi atau saya baca di beberapa surat kabar. Awalnya begitu terkoyak hati ini saat melihat siswa dengan santai berjalan di atas rumput basah yang di beberapa bagian rumput terdapat kotoran lembu berwarna hitam yang nampak lembek terkena siraman air hujan mirip seperti adonan kue hehehe. Mereka tampak biasa saja tanpa merasa jijik saat harus menginjak kotoran lembu yang basah itu dengan kaki mereka tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker hehehehe. Kawasan sekolah mungkin lebih tepat disebut sebagai “WC lembu” karena hampir disetiap tempat, kita akan menjumpai lembu berkeliaran dan membuang kotoran dimana saja. Hujan memang belakangan ini sering mengguyur kawasan SDN 5 Julok Rayeuk Utara dan Aceh Timur secara umum sehingga membuat tanah menjadi basah, becek dan kotoran lembu ikut menjadi basah pula. Memasuki bulan Oktober ini merupakan awal dari musim hujan dan menurut masyarakat setempat  pertengahan Desember-Januari merupakan puncak musim hujan. Puncak musim hujan sering kali menyebabkan beberapa tempat terkena banjir dan sebagian besar jalan tertutup tanah lumpur yang menyulitkan masyaratakat untuk melewati jalan tersebut. Sekitar dua tahun lalu daerah ini cukup ramai dihuni warga namun setelah banjir bandang yang merusak rumah warga sekitar bulan januari 2012 lalu banyak warga yang memilih meninggalkan desa ini untuk pindah ke desa lainnya.
Gambar anak-anak lagi senam pagi
Melihat banyak sekali anak yang lebih senang nyeker membuat saya penasaran mencari tahu alasan mereka lebih memilih untuk “bernyeker ria” hehehe. Rasa penasaran yang begitu besar inilah yang membuat saya mencari tahu alasan mengapa anak-anak itu lebih senang bermain, berjalan, dan melakukan keseharian mereka tanpa mengenakan alas kaki. Sempat terlintas untuk menanyakan alasan kenapa anak-anak lebih senang beraktivitas tanpa alas kaki kepada guru-guru di sekolah tersebut. Namun niat itu seketika sirna ketika saya menyadari bahwa guru-guru di sekolah tersebut lebih senang nyeker juga ketika berada di ruang kantor. 
Gambar anak-anak selatan berganti baju biasa saat pulang sekolah     
Suatu hari ketika jam pelajaran matematika di kelas IV saya memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu siswa dikelas tersebut. “Randa, kenapa kamu tidak pakai sepatu?” jawaban yang mengagetkan sekaligus membuat saya sedih ketika anak itu menjawab “jalanan payah bu kalau hujan, berlumpur, jadi dari pada sepatu saya kotor mending saya ga pakai sepatu aja”. Miris memang mendengar jawaban seperti itu keluar dari mulut seorang siswa SD. Mereka lebih mencintai sepatu mereka dari pada kaki mereka. Apalagi mendengar jawaban yang mengatakan harga sepatu itu mahal, kalau sepatu saya rusak saya tidak bisa membeli sepatu baru. Apa pemikiran seperti ini hanya muncul pada anak-anak yang berasal dari keluarga yang ekonomi nya menengah kebawah sehingga mereka lebih memikirkan harga sepatu dibandingkan keselamtan kaki mereka. Padahal jauh lebih penting bila mereka tahu bahwa pentingnya menggunakan alas kaki, karena apabila kaki sudah rusak apakah masih bisa kita membeli kaki baru untuk menggantikan kaki yang rusak itu. Dan apa mereka tahu biaya yang lebih besar bila diandingkan harga sepatu yang harus mereka keluarkan untuk melakukan operasi atau kegiatan medis lainnya bila kaki mereka terluka. Yaaa mungkin pemikiran mereka belum sampai sejauh itu. 
Dalam beberapa kesempatan saya sering menasihati seluruh siswa untuk mengenakan sepatu. Kebetulan hari itu saya ditugaskan menjadi pembina upacara bendera di SDN 5 Julok Rayeuk Utara. Pandangan mata saya tertuju pada beberapa anak yang berbaris di barisan depan. Mereka tampak bersenda gurau saat upacara bendera. Bukan gerakan tangan atau obrolan mereka yang menjadi pusat perhatian saya saat itu. Tapi bagian bawah badan mereka yang menjadi perhatian saya, lucu sekali pagi itu sekitar 7 anak dari 25 anak yang tidak mengenakan sepatu. Terlintas pemikiran saya untuk menyelipkan nasihat mengenai pentingnya menggunakan sepatu pada saat saya memberikan amanat dan pesan pembina upacara. Tidak hanya saat upacara bendera saya memberikan nasihat dan informasi mengenai pentingnya menggunakan sepatu. Setiap kali saya mengajar tak lupa saya selalu mengingatkan mereka untuk mengenakan sepatu. Hal itu saya lakukan terus menerus setiap hari tanpa bosan. Dan lucunya mereka akan melepas lagi sepatu mereka saat jam istirahat dan tidak menggunakannya dihari berikutnya. Huft memang lelah mengingatkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan seseorang.

Gambar siswa saat melaksanakan senam seribu
Pada gambar diatas terlihat beberapa siswa tidak mengenakan sepatu saat mengikuti latihan upacara bendera, senam seribu dan kegiatan lainnya. Pernah terlintas dalam pikiran saya untuk mengadakan program sepatu boot untuk anak selatan. Hal tersebut saya maksudkan agar anak selatan tidak harus nyeker saat berjalan kaki menuju sekolah. Dan agar tidak ada alasan lagi mereka mengatakan tidak memakai sepatu karena jalanan yang payah sehingga takut membuat sepatu mereka rusak. Namun belum ada keberanian saya untuk menyampaikan ide tersebut kepada kepala sekolah. Mudah-mudahan secepatnya keberanian saya muncul dan kaki-kaki anak selatan tidak akan lagi terbalut lumpur dan tertusuk ranting di hutan julok. (rst)

Bersambung... 



1 komentar:

Cara Berkomentar untuk yang tidak memiliki blog:
1. Klik selec profile --> pilih Name/URL
2. Isi nama kamu dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat fb kamu
3. Klik Lanjutkan
4. Ketik komentar kamu dan publish
Terima Kasih!

Ikuti Kami di Sosial Media

Facebook  Twitter  Google+ Instagram Yahoo RSS Feed

Terpopuler

.comment-content a {display: none;}