Search This Blog

Home » » Konsep Ijtihad dalam Islam

Konsep Ijtihad dalam Islam

Posted by ®Ugiw Blog on July 28, 2010

Pendahuluan

Perkembangan zaman dengan berbagai macam kemajuannya, meniscayakan konsekuensi tantangan dan persoalan baru. Solusi dan jalan keluar dalam bidang hukum untuk menangani, menjaga, dan melindungi kerusakan iman dan moral menjadi tumpuan harapan meangaplikasikan amanah Ilahi yang diemban manusia sebagai khalīfah fī al-ardh. Kesempurnaan wahyu Al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi prinsip dasar terjaminnya standar kebenaran dalam merefleksikan amanat penghambaan tersebut. Potensi manusia dengan pengalaman, intuisi, dan akalnya, menuntutnya untuk selalu bergerak dalam berkreasi dan berinisiatif memberikan kontribusi positif dalam memberdayakan dan mengembangkan solusi terhadap problematika kehidupan.

Kemurnian aqidah (kepercayaan), keshahihan ibadah (penghambaan), dan terbebasnya dari kejumudan berpikir merupakan hal prinsip yang niscaya dijalankan seorang muslim. Demi menjaga aqidahnya, maksimalisasi ibadah yang shahihah dijalankan tanpa harus mengungkung potensi akal. Di dalam Islam akal ditempatkan secara proporsional dengan kesadaran muslim yang meyakini keterbatasan akal dalam menentukan baik itu berpahala dan yang berpahala itu baik. Keseimbangan proporsionalitas aqidah, ibadah, dan kebebasan akal terjaga di bawah naungan wahyu yang mutlak kebenarannya. Begitulah gambaran Islam yang sempurna.

Islam sebagai agama yang universal mempunyai konsep hukum yang universal pula, yang biasa disebut dengan syari’at. Keuniversalan hukum Islam menuntut integritas penganutnya dalam mengaplikasikan syari’at secara kaffah. Begitu pula dengan kesempurnaan syari’at menuntut adanya jawaban dan solusi terhadap permasalahan baru yang belum tentu jawabannya tersurat dengan jelas di dalam Al-Qur’an ataupun al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Oleh karena itu, Islam menggariskan ijtihad sebagai alat untuk memproduksi hukum dibawah naungan kebenaran wahyu, Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka integritas muslim terhadap Islam dibuktikan dengan eksistensinya dalam memobilisasi akal untuk selalu berijtihad merespons permasalahan baru yang tidak ditemukan jawaban konkret tersurat dan qath’i di dalam Al-Qur’an ataupun al-Sunnah dengan ijtihad yang berpijak pada kedua sumber hukum tersebut.

Tetapi pada aplikasinya, tidak sedikit orang yang mengaburkan konsep ijtihad. Ijtihad yang lahir dari rahim para ‘Ulama Islam yang mu’tabar dengan shibghah (celupan) dan worldview Islam jelas mempunyai karakter tersendiri dalam memproduksi dan menderivasi hukum dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka bisa dikatakan, bahwa ijtihad merupakan metodologi atau perangkat teoritik dalam menderivasi hukum dengan worldview Islam yang khas. Oleh karena itu, bagaimana konsep ijtihad sebenarnya di dalam Islam. Apakah kebebasan akal yang membebaskannya dari wahyu? Ataupun sebaliknya? Semuanya akan dibahas secara ringan dalam tulisan sederhana ini.

Pengertian Ijtihad

Ijtihad secara etimologi diambil dari kata al-jahd atau al-juhd yang artinya al-masyaqqah (kesulitan dan kesusahan) dan al-thāqah (kesanggupan dan kemampuan),[1] atau al-wus’u (kesanggupan dan kemampuan).[2] Di dalam al-Qur’ān al-Karīm, kata jahd dapat ditemukan pada lima tempat, [3] yaitu Qs. al-Māidah: 53,[4] Al-An’ām: 109,[5] al-Nahl: 38,[6] al-Nūr: 53,[7] dan Fāthir: 42.[8] Sedangkan kata al-juhd disebutkan sebanyak satu kali,[9] yakni dalam Qs. Al-Taubah: 79.[10] Semuanya menunjukan kepada arti pencurahan dan pengerahan kemampuan dan bekerja keras. Salah satu diantara firman Allah dalam lima tempat tersebut adalah sebagai berikut:

وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِن جَاءتْهُمْ آيَةٌ لَّيُؤْمِنُنَّ بِهَا[11]

“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa jika datang suatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka akan beriman kepada-Nya.”

Ibn Katsīr (w. 774 H) dalam tafsirnya menjelaskan ayat diatas bahwa Allah memberi kabar mengenai orang-orang musyrik, dimana mereka bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang muakkadah (kuat dan berat).[12] Begitu juga dengan penafsiran al-Rāzī (544-604 H),[13] al-Maraghi,[14] al-Qurthubi (w. 671 H),[15] yang menyebutkan arti al-jahd disana dengan al-ta’kīd (penguatan) atau asyadd (sangat kuat). Jadi pada dasarnya kata jahd atau juhd hanya digunakan dalam menyatakan persoalan-persoalan yang bersifat berat, sulit, dan membutuhkan kemampuan yang mumpuni.[16] Begitu pula dengan kata ijtihād yang fi’il mādhī dan mudhāri’-nya ijtahada yajtahidu, hanya digunakan dalam hal-hal yang dilaksanakan lebih dari biasa dan sulit untuk dilakukan untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat dirujuk kepada hadits Rasulullah SAW., baik sabda-sabdanya ataupun pekerjaannya. Diantara riwayat-riwayat yang menggunakan kata tersebut adalah:

حدثنا مسدد حدثنا سفيان عن سليمان بن سحيم عن إبراهيم بن عبد الله بن معبد عن أبيه عن ابن عباس: أن النبي صلى الله عليه وسلم كشف الستارة و الناس صفوف خلف ابن بكر فقال: ياأيها الناس إنه لم يبق من مبشرات النبوة إلا الرأيا الصالحة يراها المسلم أو ترى له, وإني نهيت أن أقرأ راكعا أو ساجدا. فأما الركوع فعظموا الرب فيه, وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء. فقمن أن يستجاب لكم.[17]

“...Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a.”

حدثنا قتيبة بن سعيد وأبو كامل الجحدري, كلاهما عن عبد الواحد بن زياد. قال قتيبة: حدثنا عبد الواحد عن الحسن بن عبد الله قال: سمعت إبراهيم يقول: سمعت الأسود بن يزيد يقول: قالت عائشة رضي الله عنها: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر ما لا يجتهد في غيره.[18]

“Keadaan Rasulullah SAW. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) yang berbeda dengan hari yang lainnya.”

Maka dari penjelasan diatas, Ijtihād dapat didefinisikan dengan mencurahkan segala kemampuan dalam mencari sesuatu masalah, yakni bekerja keras dalam kesungguhan dan kesulitan.[19] Ahli bahasa lainnya, Al-Sa’d al-Taftazānī menyatakan bahwa Ijtihād menurut bahasa diambil dari kata al-jahd yang berarti kesulitan dalam suatu urusan. Dikatakan: اجتهد في حمل حجر البزارة (dia bersusah payah dalam membawa batu yang besar), tidak dikatakan اجتهد في حمل خردلة (dia bersusah payah dalam membawa biji).[20] Oleh karena itu, penggunaan kata ijtihad meniscayakan adanya kesulitan yang ditempuh untuk mengeluarkan atau menyimpulkan hukum-hukum yang penting dalam masalah syara’.[21] Bahkan al-Mardāwī (w. 885 H) dalam al-Tahbīr Syarh al-Tahrīr mendefinisikan ijtihad secara etimologi dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu urusan yang sulit.[22]

Dari sini bisa dikatakan bahwa seseorang berijtihad dalam suatu urusan, berarti ia mencurahkan kemampuannya dalam mencari dan menuntutnya sehingga sampai kepada tujuan pencariannya. Urusan ini bisa dalam berbagai urusan, baik yang sifatnya materi, jasmani, atau fisik, seperti berjalan dan bekerja. Atau juga bisa dalam urusan maknawi atau non fisik, seperti menyimpulkan hukum atau teori logika, syar’iah, atau bahasa. Maka bisa dikatakan bahwa ijtihad itu adalah mencurahkan kemampuan dalam mencari kebenaran suatu urusan dari urusan-urusan yang meniscayakan kesulitan dan kesusahan saja. Dan sebaliknya, tidak dibenarkan apabila dikatakan seseorang berijtihad dalam membawa pulpen atau kitab yang tidak mengandung kesulitan dan kepayahan.[23]

Pengertian ijtihad secara terminologi banyak ditemui dalam karya beberapa ‘Ulama. Tentunya pengertian ijtihad secara terminologi tidak berbeda jauh, bahkan sangat erat relevansinya dengan pengertian menurut etimologi. Inti dari keduanya adalah kesanggupan dan kemampuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berat. Diantara ‘Ulama yang mendefinisikan ijtihad adalah sebagai berikut:

Imam al-Ghazali (450-505 H) dalam al-Mustashfā[24] menyatakan bahwa ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang faqih (mujtahid) dalam rangka menghasilkan hukum syara’, dengan pengerahan yang maksimal sehingga ia merasa tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.[25] Al-Ghazali menyanggah anggapan sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa iijtihad sama dengan Qiyas. Ia berargumen bahwa ijtihad lebih umum ketimbang Qiyas, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam masalah-masalah umum, kedalaman lafazh-lafazh, dan jalan-jalan mencari dalil lain selain Qiyas.[26] Sedangkan Al-Amidi dalam al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām[27] menjelaskan bahwa yang dimaksud ijtihad hampir sama dengan al-Ghazali, yakni mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni, sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.[28] Al-Amidi menjelaskan bahwa makna dari “mencurahkan semua kemampuan” seperti kemampuan dalam makna yang bersifat bahasa (lughawi) dan dasar-dasar (ushuli) dan sebaliknya dari kekhususan yang khas dari ijtihad dalam makna yang bersifat ushuli. Dan yang dimaksud dengan “yang bersifat zhanni” artinya menunjukan kepada peringatan bahwa ijtihad ini bukan pada hukum-hukum yang qath’i (tetap kejelasan hukumnya). [29] Sedangkan yang dimaksud dengan “hukum syara’” berarti dalam hal ini ijtihad bukan pada persoalan yang bersifat ma’qūlāt (logika), muhissāt (perasaan indera) dan lainnya. Kemudian yang disebut dengan “sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu”, maksudnya bahwa dalam ijtihad tidak dimaksudkan dalam masalah yang ringan-ringan.[30]

Selanjutnya imam al-Syaukānī dalam Irsyād al-Fuhūl, Ahmad Ibrahim Biek dalam ‘Ilm Ushūl Fiqh wa Yalih Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, dan imam al-Zarkasyī (745-794 H) dalam al-Bahr al-Muhīth yang mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional (praktis) dengan menggunakan metode istinbat.[31] Al-Zarkasyī menjelaskan makna dari “mencurahkan kemampuan” berarti mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan pencurahan kemampuan tersebut berarti juga sampai dirinya merasa tidak mampu lagi menambah usahanya. Kemudian “hukum syara’” berarti mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karena itu, orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut mujtahid menurut ushul fiqih. Begitupun pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqaha, meskipun menurut mutakallimun dinamakan ijtihad. Selanjutnya maksud dari “jalan istinbat” adalah mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang zhahir, menghapal masalah-masalah atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal tersebut, meskipun benar mencurahkan kemampuan menurut bahasa, tapi tidak menurut istilah. Bahkan ada sebagian ahli ushul (seperti Al-Ghazali dan Muhammad Abu Zahrah- pen) yang mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan kemampuan seorang faqih.[32]

Kemudian ‘Abdul Wahhāb Khalaf mengartikannya sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara’ dari dalil yang terinci dengan bersumber dari dalil-dalil syara’.[33] Sebagaimana yang lain, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikannya dengan daya upaya ahli hukum Islam (faqīh) semaksimal mungkin dalam mengistinbatkan hukum praktis dari dalil-dalil yang terperinci.[34] Sedangkan imam al-Syāthibi dalam al-Muwāfaqāt menjelaskannya dengan pengerahan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali hukum syara’.[35] Definisi yang dijelaskan al-Syāthibī menunjukan adanya keharusan usaha seorang mujtahid yang maksimal dan optimal. Tetapi tidak berarti seorang mujtahid harus menanggung beban psikologis dengan perasaan lemahnya kemampuan yang dimiliki. Karena pada dasarnya, setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam kemampuan mengerjakan suatu persoalan ataupun pekerjaan. Hal ini senada dengan firman Allah:

“ Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya.”[36]

“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sekemampuan kalian..”[37]

Dari berbagai definisi yang dijelaskan para ‘Ulama diatas bisa disimpulkan bahwa ijtihad secara terminologi dapat diartikan sebagai pengerahan kemampuan optimal seorang faqih (mujtahid) dalam menggali hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni (bukan pada masalah hukum yang sudah qath’i dan tetap) yang telah termaktub secara eksplisit di dalam al-Qur’an al-Sunnah. Hal ini berpijak pada landasan naqli yang mengisyaratkan adanya ketertiban dalam menggunakan sumber hukum dalam menyimpulkan hukum sebuah persoalan, berdasarkan hadits dibawah ini

حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره. فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.[38]

“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.”

Landasan dan Hukum Ijtihad

Ijtihad sebagai salah satu sumber hukum dari sumber-sumber hukum syari’ah merupakan sebuah pernyataan yang didasarkan pada dalil-dalil yang menunjukan kevalidannya, baik dalil yang bersifat isyarat ataupun jelas eksplisit. Diantara dalil-dalil yang menunjukan hal tersebut, didasarkan pada dalil naqli al-Qur’an, diantaranya Allah berfirman, “Apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orsng-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri).”[39] Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” [40] Ayat ini menjustifikasi eksistensi ijtihad dengan cara qiyas.[41] Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [42]dan “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal.” [43] Juga “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memperhatikan tanda-tanda.” [44]Istilah berpikir dan berakal adalah sebuah aktifitas yang menggunakan logika dengan penekanan yang ditunjukan ayat ini, yakni berpikir tanpa mendahului al-Qur’an dan al-Sunnah.

Kemudian firman Ta’ala, “Maka ambillah pelajaran oleh kalian wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. [45]Menurut al-Amidi, ayat ini pun menjadi landasan hukum adanya ijtihad, dimana ayat ini menyatakan perintah untuk mengambil pelajaran atas hal yang bersifat umum bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan.[46] Selanjutnya firman Allah,“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” [47]Dimana ayat ini menjelaskan bahwa adanya musyawarah berarti menunjukan penghukuman atas dasar ijtihad, bukan atas dasar penghukuman wahyu.[48] Hal ini dilakukan jika tidak didapatkan kejelasan ayat tersurat yang qath’i dalam suatu permasalahan. Kemudian ayat yang menyatakan, “Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat).” Dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.” [49]Menurut riwayat Ibn ‘Abbas, ada sekelompok kambing telah merusak tanaman pada waktu malam. Pemilik tanaman mengadukan hal ini kepada nabi Dawud as. Ia memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada pemilik tanaman sebagai ganti tanaman yang rusak. Tetapi nabi Sulaiman memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada pemilik tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan pemilik kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, pemilik kambing itu boleh mengambil kembali kambingnya . Keputusan nabi Sulaiman inilah keputusan yang lebih tepat.[50] Kebijakan nabi Sulaiman ini merupakan ijtihad beliau dalam memutuskan sebuah hukum. Imam al-Syāfi’ī (150-204 H) dalam al-Risālah mengatakan bahwa landasan dari ijtihad ini adalah Qs. Al-Baqarah: 150, yang berbunyi, “Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar,maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu.”[51] Beliau menjelaskan bahwa ilmu yang menyatakan bahwa orang yang menghadapkan arahnya ke Masjidil haram dari orang yang meninggalkan rumahnya, menunjukan kebenaran adanya ijtihad untuk menghadapkan arah shalat ke Baitullah dengan petunjuk-petunjuknya, karena orang yang mukallaf waktu itu pada dasarnya tidak tahu apakah ia benar menghadap ke Masjidil Haram ataukah salah?.[52]

Diantaranya pula yang berdasarkan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan dari Amr ibn al-‘Āsh,

حدثني يحيى بن يحيى التميمي. أخبرنا عبد العزيز بن محمد عن يزيد ابن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص, عن عمرو بن العاص: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران و : إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر.[53]

“...Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.”

Kemudian hadits yang menjelaskan mengenai pengutusan Muadz ibn Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim oleh Rasulullah SAW.,

حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره. فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.[54]

“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.”

Landasan berijtihad juga dapat ditemukan dalam riwayat yang menceritakan dua sahabat yang telah berijtihad ketika keduanya mengadakan perjalanan, dimana ketika itu waktu shalat sudah datang, namun keduanya tidak menemukam air. Kemudian keduanya shalat (dengan bertayamum), tidak lama kemudian setelah keduanya selesai melakukan shalat, keduanya menemukan air. Maka salah seorang mengulangi shalatnya. Sedang yang satu lagi tidak mengulanginya. Ketika hal itu diadukan kepada Rasulullah, beliau membenarkan keduanya, seraya beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: “Engkau sesuai dengan sunnah, dan shalatmu mendapat pahala.” Sedangkan kepada yang mengulangi shalatnya, ia berkata: “Bagimu dua pahala.”[55]

Kemudian ada taqrīr (sikap diam tanda setuju) Rasulullah SAW. kepada ‘Amr ibn ‘Ash ketika ia shalat dalam salah satu sariyyah[56] beserta sahabatnya. Dikatakan bahwa ‘Amr junub, tetapi ia tidak mandi, bahkan cuma tayammum saja karena malam itu sangat dingin. Maka hal itu diadukan kepada Rasulullah SAW., dan ‘Amr berargumen bahwa ia tidak mandi, tapi hanya tayammum karena ia teringat firman Allah Ta’ala, “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang atas kalian.”[57]

Cara berijtihad ini diikuti pula oleh para sahabat dan generasi selanjutnya setelah wafatnya Rasulullah SAW., sebagai ciri khas yang selaras dalam menyimpulkan suatu hukum syar’i yang ditetapkan di dalam Islam. Mereka senantiasa menggunakan ijtihad, jika tidak ditemukan suatu kejelasan hukum suatu masalah di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sudah menjadi ijma’ para sahabat yang diikuti oleh segenap ‘Ulama Islam dalam berbagai madzhab.[58]

Umat Islam dengan berbagai madzhabnya telah sepakat (ijma’) atas adanya syari’at ijtihad dan mengaplikasikannya. Dan hasilnya terjadinya perkembangan dalam bidang fikih. Begitupun akal mewajibkan adanya ijtihad, karena kebanyakan dalil-dalil hukum syara’ dalam bentuk aplikatif praktis (amal) bersifat zhannī yang memungkinkan dipahami dengan beberapa pemahaman. Oleh karena itu diperlukan ijtihad untuk menentukan pendapat yang terkuat. Begitu juga permasalahan yang tidak ada kejelasan nash tersurat, memerlukan ijtihad untuk menjelaskan hukum syari’at dalam masalah tersebut. Oleh karena ijtihad itu disyari’atkan, maka kedudukan ijtihad ini pula sangat penting untuk diperhatikan. Syeikh Yusuf al-Qaradhawi menghukumi ijtihad dengan fardhu kifayah.[59] Ia beralasan bahwa ijtihad itu untuk kepentingan agama dan dunia, sebagaimana ilmu hisab, kedokteran, dan lainnya, yang hukumnya fardhu kifayah. Beliau juga mengutip al-Syaukani dan al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyatakan bahwa hukum ijtihad adalah fardhu kifayah.[60]

Pembagian Ijtihad

Perbedaan pendapat mengenai makna ijtihad yang diserupakan dengan qiyas, ra’yu (logika) yag termasuk di dalamnya istihsān atau mashālih mursalah, menjadi pembahasan yang terus bergulir. Al-Syafi’i misalnya yang menyatakan bahwa ijtihad sama dengan qiyas,[61] dibantah oleh Al-Ghazali dengan argumentasi bahwa ijtihad lebih umum ketimbang Qiyas, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam masalah-masalah umum, kedalaman lafazh-lafazh, dan jalan-jalan mencari dalil lain selain Qiyas.[62] Bahkan dikatakan bahwa ijtihad mencakup ra’yu (logika), qiyas, dan akal. Sebagaimana ra’yu diartikan oleh mereka yang berpendapat demikian diklaim sebagaimana para sahabat memahaminya, yaitu sebagai amal yang yang dipandang oleh mujtahid sebagai suatu kemaslahatan dan lebih dekat kepada semangat syari’at Islam tanpa penelitian kepada apakah hal itu ada dasar tertentu untuk kejadian tersebut atau tidak.[63] Hal ini senada dengan apa yang dikatakan al-Syairazī dalam al-Luma’ fī Ushūl al-Fiqh, seperti dikutip Wahbah Zuhaili, bahwa yang benar adalah bahwa ijtihad itu lebih umum dari qiyas, karena ijtihad merupakan pengerahan kemampuan seorang mujtahid dalam mencari hukum, yang di dalamnya mencakup pengetahuan tentang mutlaq atas muqayyad, penertiban yang ‘Ām atas yang Khāsh, dan seluruh bahasan-bahasan yang menuntut pencarian hukum. Dan dari bahasan-bahasan itu, hanya sebagian yang termasuk qiyas.[64]

Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syāthibi,[65] terbagi kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman. Yang pertama, Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda.. Kedua, ijtihad Qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baik qath'i ataupun zhanni- juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam 'illat hukumnya, atau biasa disebut Qiyas. Ketiga, ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash –baik qath'i maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan madharat.

Mengenai pembagian ijtihad diatas, Taqiy al-Dīn al-Hakīm dalam al-Ushūl al-‘Āmmah li al-Fiqh al-Muqārin, mengomentari bahwa ijtihad bayani tidak mencakup syarat-syarat pembagian yang mantiqi, karena tidak memenuhi kapasitas pembagian. Dimana ijtihad ini tidak mencakup ijtihad istihsani dan lainnya dari dalil-dalil istinbat yang menjadi pegangan para fuqaha. Kemudian mengenai ijtihad qiyāsī, ia berkomentar bahwa qiyas bukan satu bagian ijtihad bayani dari keseluruhan bagian-bagian qiyas. Tetapi pada sebagiannya qiyas menjadi bagian dari ijtihad, seperti qiyas yang didasarkan pada nash yang tersurat dengan menggunakan ‘illat atau yang mengambil keumuman hukum dari keumuman atau kemutlakan illatnya untuk semua yang berkaitan dengannya. Sedangkan ijtihad istishlāhī merupakan nama lain dari ijtihad bayani, karena sama-sama menyimpulkan hukum dari dalil-dalil yang umum, seperti “ Lā Dharara wa lā dhirāra” (jangan membahayakan diri dan orang lain). Oleh karena itu, menurut al-Hakīm, ijtihad itu terbagi kepada dua bagian saja. Pertama, ijtihad ‘Aqlī, yaitu ijtihad yang argumentasinya atas dasar akal dan logika yang tidak bisa diterima menjadi hukum syara’, seperti kebebasan akal dan kaidah-kaidah yang menolak bahaya yang diperselisihkan atau jeleknya sanksi hukum tanpa adanya penjelasan dan lainnya. Kedua, ijtihad Syar’ī, yaitu argumentasi yang didasarkan atas argumentasi-argumentasi syar’i. Yang termasuk ijtihad ini adalah ijma’, qiyas, istohsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lainnya.[66]

Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak mungkin terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam menjelaskan hukum. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Pada bentuk kedua ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk memilih berbagai ‘illat yang ditemukan untuk ditetapkan sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.[67]

Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi kepada dua bentuk. Pertama, ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan. Kedua, ijtihad ghair mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.[68]

Syarat-syarat Ijtihad

Al-Ghazali menjelaskan syarat mujtahid hanya pada dua syarat saja. Pertama, menguasai pengetahuan-pengetahuan ilmu syara’ (agama), yang memungkinkan seorang mujtahid bertindak proporsional dalam meneliti suatu persoalan, yaitu ia bisa mendahulukan apa yang mesti didahulukan, dan mengakhirkan apa yang mesti diakhirkan. Kedua, seorang mujtahid mestilah seorang yang adil dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan yang tercela. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa syarat yang kedua (adil) adalah merupakan syarat diterimanya fatwa, bukan syarat sahnya ijtihad. Oleh karena itu, jika seseorang mendalam ilmunya, tetapi ia tidak menggambarkan keadilan dirinya, maka ia berijtihad untuk dirinya saja, tidak untuk yang lainnya dalam wujud fatwa.[69] Begitupun dengan al-Syathibi yang mensyaratkan dua persyaratan dalam berijtihad, tetapi beda isi dengan al-Ghazali. Pertama, memahami secara sempurna maqāshid al-syarī’ah. Kedua, mempunyai kapasitas dalam mengistinbat hukum sebagai gambaran dari pemahamannya.[70]

Tetapi uraian secara terperinci dalam menentukan syarat-syarat ijtihad, para ‘Ulama membaginya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu al-syurūth al-‘Āmmah (syarat-syarat umum), al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat khusus atau terperinci), dan al-syurūth al-takmīliyyah (syarat-syarat penyempurna). Penjelasan dari ketiganya adalah sebagai berikut.

1. Al-syurūth al-‘Āmmah (syarat-syarat umum)

Yang termasuk persyaratan yang pertama, yaitu (1) seorang mujtahid mesti seorang muslim bertauhid, yakni mengetahui dan meyakini keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya. Kemudian jua membenarkan Rasul SAW., dan apa yang dibawa berupa syari’at, sehingga seorang mujtahid menjadikan hal itu menjadi rujukan utamanya.[71] Kemudian (2) sorang mujtahid adalah seorang yang baligh, karena jika masih kecil tidak memenuhi syarat ilmu dalam mengetahui fiqih dari berbagai aspeknya. Yang (3) seorang mujtahid adalah orang yang berakal, karena tanpa akal tidak akan mendapat ilmu, pemahaman, dan lainnya. Sedang yang ke (4) adalah mujtahid mesti seorang yang faqīh al-nafs, yaitu orang yang mempunyai kemampuan dalam menyimpulkan hukum-hukum fiqih dari dalil-dalilnya.[72]

2. Al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat khusus atau terperinci)

Syarat ini adalah syarat yang dilihat dari keahlian, sebagaimana yang dijelaskan Yusuf al-Qarādhawī, bahwa syarat- tersebut adalah sebagai berikut. (1) mengetahui dan menguasai arti ayat-ayat al-Qur’an, khususnya tentang ayat-ayat hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (2) mengetahui dan menguasai hadits-hadits nabi SAW., khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (3) mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. (4) mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ‘Ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’. (5) mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. (6) mengetahui maqāshid al-syarī’ah secara umum.. (7) mengetahui kondisi masyarakat dan kehidupan atau lingkungan. (8) mempunyai jiwa adil dan taqwa.[73]

3. al-syurūth al-takmīliyyah (syarat-syarat penyempurna)

Diantara syarat penyempurna ini adalah sebagai berikut: (1) mengetahui peniadaan yang mendasar, yaitu seorang mujtahid mengetahui bahwa yang mendasar itu adalah meniadakan bahwa ia tidak berhukum kecuali apa yang telah digariskan oleh syara’, tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh syara’, tidak ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil. Imam al-Ghazali mengibaratkannya kepada dalil akal,[74] karena akal yang benar tidak akan menolak dalil, tapi justru menguatkannya. (2) Memahami maqāshid al-syarī’ah (tujuan-tujuan syari’at). Dimana al-Syathibi dan al-Qaradhawi memasukannya sebagai salah satu syarat utama. Al-Syātiby dalam al-muwāfaqāt menyebutkan bahwa maslahah atau maqāshid al-syari'ah terbagi kepada al-mashālih al-dharuriyyah, al-hājiyyah, dan al-tahsiniyyah. Al-mashālih al-dharuriyyah. Menurutnya, sesuatu yang harus ada dalam usaha menegakkan dan menjaga urusan agama serta dunia, yang melingkupi penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Al-Māshalih al-Hājiyyah ialah segala yang diperlukan manusia agar penghidupan ini menjadi mudah dan lapang, hilanglah kesempitan dan kesukaran, tetapi tidak mengarah kepada kerusakan dan kebinasaan. Sedangkan al-mashālih al-tahsiniyyah adalah segala yang berhubungan dengan keindahan dalam kehidupan, baik bagi individu maupun masyarakat. Jika hal ini tidak ada hanya dipandang kurang baik saja.[75] (3) Mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah. Dalam hal ini Imam Ibn al-Subkī memasukannya sebagai salah satu syarat dalam memahami maksud sya’ri’ (Allah swt). Dan yang dimaksud dengan kaidah kulliyyah adalah kaidah-kaidah al-kulliyyah al-fiqhiyyah, seperti “al-dhararu yuzālu” (bahaya itu akan hilang) atau al-yaqīn lā yazūlu bi al-Syak (keyakinan tidak akan hilang dengan keraguan). (4) mengetahui tempat-tempat perselisihan. Mengutip perkataan Qatadah, ia berkata: “barang siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf (perbedaan), maka hidungnya tidak mencium pemahaman.” Hisyam ibn ‘Ubaid Allah al-Razi berkata: “barang siapa tidaka mengetahui perbedaan qira’ah, maka ia bukan qāri’. Dan barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan para fuqaha, maka ia bukan faqih.”[76] (5) Mengetahui ‘urf (adat kebiasaan) yang berjalan di suatu negeri. Dengan pengetahuan ini, dapat mengambil kebijakan hukum secara proporsional.[77] Dalam hal ini al-Qurāfī mengatakan bahwa pengetahuan terhadap ‘urf adalah urusan yang wajib yang tidak ada perselisihan ‘ulama tentang hal itu. Sesungguhnya jika ada dua adat dalam dua negeri, maka kedua adat itu tidak sama. Begitu pula hukum kedua negeri itu pun tidak sama.[78] (6) Mengetahui mantiq (logika), sebagaimana yang dikemukakan al-Ghazali bahwa seorang mujtahid mesti mengetahui pembagian dalil-dalil (akal, syari’at, wadh’iyyah /ibarat-ibarat bahasa), kesulitan-kesulitannya, dan syarat-syaratnya.[79] (7) keadilan dan keshalihan mujtahid. (8) Mempunyai sejarah dan pengalaman yang baik (tidak cacat). (9) mempunyai sifat wara’ (taqwa) dan ‘iffah (karisma) dari setiap hal yang akan merusak kemuliaannya. (10) Mempunyai ketenangan dalam berpikir, kebijaksaan dalam menjelaskan dan hati-hati dalam berfatwa. (11) Perasaan rendah diri di hadapan Allah dengan selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta petunjuk kebenaran. (12) Ketsiqahan dirinya dalam keahliannya dan pengakuan masyarakat terhadapnya. Malik ibn Anas pernah berkata: “Tidak pantas seorang ‘alim berfatwa sehingga dirinya dan masyarakat melihatnya sebagai orang yang ahli dan pantas untuk berfatwa, dan begitu pula ia diakui oleh ‘ulama dalam kepantasannya tersebut.“[80] Dalam perkataannya yang lain, “aku tidak akan berfatwa sehingga ada 70 orang yang bersaksi bahwa aku ahli dalam hal itu.” (13) Kesesuaian amal seorang mujtahid dengan ucapannya dan ilmunya. Allah berfirman, “Dan diantara orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”[81] “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. (itu) sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”[82]

Ranah Ijtihad

Imam al-Ghazali telah membatasi mengenai ranah yang bisa dimasuki ijtihad hanya pada setiap hukum syara’ yang tidak ditemukan kejelasan dalilnya (baik dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah) secara qath’ī. [83] Maka tidak menjadi lahan dan ranah ijtihad setiap apa yang telah termaktub secara eksplisit dan qath’ī, seperti wajibnya shalat lima waktu, zakat, dan lainnya. Maka dari sini, dapat diketahui bahwa hukum-hukum syari’at jika dinisbatkan kepada ijtihad ada dua macam, yaitu apa yang diperbolehkan ijtihad padanya dan apa yang tidak diperbolehkan.

Adapun yang termasuk ranah yang dilarang ijtihad padanya adalah hukum-hukum yang sudah diketahui keberadaannya secara pasti atau yang telah ditetapkan dengan dalil yang qath’ī al-tsubūt,[84] seperti wajibnya shalat, shaum, zakat, haji, dua kalimat syahadat, haramnya zina, mencuri, minum khamar, membunuh, dan sanksi-sanksi hukumnya, dimana semua hal tersebut sudah dinyatakan di dalam al-Qur’an dan al-hadits, baik perkataan nabi ataupun pekerjaannya.[85]

Sedangkan yang termasuk ranah ijtihad adalah hukum-hukum yang ada nash atau dalilnya, tetapi bersifat zhannī al-tsubūt zhannī al-dilālah, qath’ī al-tsubūt zhannī al-dilālah, qath’ī al-dilālah zhannī al-tsubūt, hukum-hukum yang yang sama sekali tidak eksplisit dalam nash dan dalil, dan hukum yang belum ada ijma’ mengenainya.[86]

Jika keadaan nash hadits zhannī al-tsubūt, maka ini menjadi ranah ijtihad yang mesti diijtihadi dengan penelitian pada sanadnya dan jalan sampainya periwayatannya kepada kita dan derajat para perowinya, baik sisi ‘adālah (keshalehan)-nya maupun dhabth (intelektual)-nya. Kemudian jika keadaan nash hadits zhannī al-dilālah, maka yang mesti diijtihadi adalah penelitian dalam pengetahuan makna termaksud suatu nash dan kekuatan dilālah (petunjuk)nya atas makna. Kadang-kadang makna itu bersifat ām (umum) atau bersifat mutlak. Kadang-kadang dimaksudkan dengan bentuk amr (perintah) atau bentuk nahy (larangan). Kadang-kadang juga menunjukan makna dengan bentuk ‘ibārat (perumpamaan), isyarat, ataupun yang lainnya.[87]

Kemudian jika suatu kejadian atau masalah, tidak ditemukan kejelasan nash ataupun ijma’ sama sekali, maka ranah ijtihad dalam hal ini adalah dengan penelitian tentang hukumnya dengan dalil-dalil ‘aqliyyah (menggunakan akal), seperti qiyās, istihsan, mashālih mursalah, ‘urf, istishhāb, dan lainnya.[88]

Tingkatan-tingkatan Mujtahid

Abu Zuhrah dalam karyanya Ushūl al-Fiqh menjelaskan tingkatan-tingkatan mujtahid ke dalam 6 tingkatan:[89]

1. Mujtahid dalam hukum syara’ atau Mutlaq Mustaqil

Mujtahid pada tingkat pertama ini menggali, menemukan, dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum dari Al-Qur’an dan menyimpulkan hukum dari hadits nabi. Ia menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum atas sesuatu yang dilahatnya ada kesamaan ‘illat antara hukum yang sudah ada nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihsān karena dilihatnya qiyas tidak menyelesaikan maslah, dan menyelesaikan hukum atas dasar maslahah mursalah, istishab dan dalil lain bila tidak menemukan nash yang memberi petunjuk. Ia juga termasuk yang dijelaskan al-Qaradhawi dengan istilah mujtahid mutlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang mempunyai tiga ciri khas, (1) merintis sendiri dengan menggunakan kaidah dan ilmu ushul yang disusunnya sendiri, (2) mendasarkan pada al-Qur’an dan al-sunnah dengan mengetahui hukum-hukum yang telah ada jawabannya, memilih dalil-dalil yang bertentangan, menjelaskan yang rajih dari yang ada perselisihan, dan memperingatkan untuk senantiasa menyimpulkan hukum langsung merujuk kepada dalil-dalil tersebut. Dan (3) berbicara dalam hal-hal yang belum ada kejelasan hukum sebelumnya dengan merujuk kepada dalil-dalil.[90] Yang termasuk mujtahid muntasib diantaranya, dari kalangan tabi’in, Sa’id ibn Musyyab, Ibrahim al-Nakh’i, Ja’far al-Shadiq, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad ibn Hambal, al-Auza’i, al-Laits ibn Sa’ad, Sufyan al-Tsauri, dan lain-lainnya.

2. Mujtahid Muntasib

Mujtahid yang dihubungkan kepada mujtahid yang lain. Ia berijtihad meilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh mujtahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkaitt kepada mujtahid sebelumnya dalam menetapkan hukum furu’, meskipun hasil penemuan yang ditetapkannya ada yang kebetulan sama dengan apa yang telah ditetapkan oleh mujtahid sebelumnya yang dirujuknya. Keterikatan mujtahid ini, karena sebelumnya ia berguru kepadanya dan mengambil cara-cara yang dipergunakan oleh gurunya dalam berijtihad.[91] Yang termasuk mujtahid muntasib diantaranya, Abu Yusuf Muhammad, Muhammad ibn Hasan al-Syaibani, yang berguru kepada Abu Hanifah, al-Muzani yang berguru kepada al-Syafi’i, Abd al-Rahman ibn Qasim yang berguru kepada imam Malik.

3. Mujtahid Madzhab

Mujtahid ini adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhab tempat ia bernaung, baik dalam lmu ushul maupun furu’. Ia mengikuti temuan yang dicapai imam madzhab dan tidak menyalahi ketetapan yang telah digariskan imamnya.[92]

4. Mujtahid Murajjih

Mujtahid murajjih adalah mujtahid yang berusaha menggali dan mngenal hukum furu’, namun ia tidak sampai mengistinbatkan sendiri hukum dari syar’i maupun dari nash imamnya. Pengerahan kemampuannya hanya menemukan pendapat-pendapat yang pernah diriwayatkan dalam madzhab dan mentarjihnya diantara pendapat-pendapat tersebut bagi pengamalannya. Dalam istilah yang lain, penamaaan mujtahid ini, menurut al-Qaradhawi disebut sebagai mujtahid fatwā.[93]

5. Golongan Huffazh

Golongan ini tidak melakukan ijtihad dalam pengertian terminologi, tetapi mempunyai kemampuan untuk menghapal dan mengingat hukum-hukum dan periwayatannya yang telah ditetapkan imam mujtahid terdahulu secara langsung dari nash atau apa yang telah ditemukan oleh mujtahid madzhab dengan mentakhrijkannya dari pendapat imam madzhab. Dari sisi ijtihad, golongan ini tidak punya kekuatan, tetapi sebaliknya dalam penghapalannya.

6. Golongan Muqallid

Yaitu kalangan umat yang tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengertian terminologi, juga tidak mempunyai kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, bahkan ia juga tidak memahami dalil-dalil.

Kesinambungan Ijtihad

Kewajiban ijtihad tidak berhenti pada masa ‘ulama terdahulu saja, tetapi sebaliknya kesinambungan kewajiban ijtihad mesti terus terjadi di stiap masa ataupun tempat. Hal ini mengingat berkembang dan kompleksitas problematika umat dari masa ke masa yang terus berkelanjutan. Oleh karena itu, ijtihad merupakan solusi dalam memberikan keseimbangan hidup dengan sinaran wahyu yang terurut. Ketika persoalan yang muncul merupakan persoalan baru yang tidak eksplisit (qath’ī) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ijtihad adalah jawabannya, yang sudah barang tentu mesti dilakukan menurut konsep yang sebenarnya di dalam Islam. Mengenai urgensitas kesinambungan ijtihad, sebagaimana dikutif Yusuf al-Qaradhawi, imam al-Syaukani berkata: “Tidak tersembunyi atas kalian (jelas nampak-pent) bahwa kedudukan ijtihad adalah fardhu yang niscaya keberadaannya sepanjang rentangan zaman, tanpa harus kosong dari seorang mujtahid. Hal ini dibenarkan oleh Rasulullah SAW. dalam sabdanya: “Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang berada dalam kebenaran dengan jelas sampai terjadinya hari kiamat.”[94]

Hanabilah (pengikut Ahmad ibn Hanbal) mengatakan bahwa tidak boleh suatu masa kosong dari seorang mujtahid. Dalam hal ini al-ustadz Abu Ishaq berkata: “Dan dibawah pendapat ‘ulama, Allah tidak akan mengosongkan suatu zaman dari orang yang menegakkan hujjah dan argumentasi mengenai urusan yang besar, seakan-akan Allah mengilhamkan hal tersebut. Artinya: Jika Allah mengosongkan suatu zaman dari penegak hujjah (mujtahid), maka akan terlepaslah beban kewajiban (taklif). Begitupun dengan imam al-Zubairi yang menyatakan bahwa bumi ini tidak akan kosong dari penegak hujjah (mujtahid) di setiap waktu, masa, dan zaman. Tetapi tentunya, jumlah mujtahid itu sedikit dari yang banyak. Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada mujtahid saat ini (suatu zaman), hal itu adalah salah, karena jika tidak ada fuqahā, maka kewajiban-kewajiban seluruhnya tidak akan ada. Jika tidak ada kewajiban, maka makhluk akan dihancurkan, sebagaimana sabda rasul, “tidak akan terjadi kiamat kecuali atas seburuk-buruknya manusia.” Dan kita berlindung kepada Allah untuk diakhirkan beserta orang-orang yang buruk.”[95]

Kondisi real suatu zaman meniscayakan adanya mujtahid yang mengemban amanah menegakkan hujjah Islam dimuka bumi, demi terjaganya kemaslahatan umat Islam di dunia dan di akhirat. Menjawab semua permalahan baru dalam dunia yang selalu baru, tetapi bukan mengada-ada hukum baru dari hukum yang sudah baku. Keniscayaan zaman yang akan terus mendatangkan penghuni dunia pengisi zaman yang terus menemui kenistaan dan jauh dari pancaran wahyu di bawah worldview Islam. Hal ini sesuai dengan riwayat yang diterima dari Anas ibn Malik bahwa Rasul SAW. bersabda: “Bersabarlah kalian, karena tidak akan datang suatu zaman, kecuali zaman tersebut akan lebih jelek dan buruk dari zaman sebelumnya sehingga kalian menemui Tuhan kalian.”[96] Mengomentari hadits ini, Abdullah ibn Mas’ud menjelaskan bahwa yang dimaksud zaman pada hadits diatas, bukanlah suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain tau seorang amir lebih baik dari amir yang lain, tetapi ketika para ‘ulama dan fuqaha diantara kalian wafat, tetapi tidak ada pengganti mereka. Kemudian datang suatu kaum yang berfatwa dengan akal mereka (tanpa mengindahkan wahyu-pent). Maka mereka menurunkan kewibawaan Islam, bahkan menghancurkannya.[97]

Penutup

Urgensitas ijtihad adalah sebuah aksioma yang tidak terbantahkan dalam memecahkan berbagai persoalan dalam ranah hukum syari’at. Kedudukannya pun terlegalisasi dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan tidak asal-asalan. Oleh karena itu, otoritas ijtihad tidak dimiliki oleh setiap orang, melainkan orang-orang tertentu saja yang memiliki dan memenuhi kualifikasi. Ijtihad merupakan sebuah ekspresi maksimalisasi potensi akal proporsional dan rasionalisasi hukum dengan naungan wahyu yang terrefleksikan dalam worldview Islam. Kegiatan ijtihad adalah kegiatan yang niscaya keberlangsungannya dalam memfasilitasi terwujudnya hukum yang sesuai dengan pancaran wahyu, Al-Qur’an dan al-Sunnah, karena ia juga sebagai metodologi dan perangkat teoritik fiqih dalam menderivasi hukum dari sumber primer hukum, Al-Qur’an dan al-Sunnah. Wallāhu a’lam.

Daftar Pustaka

× Al-Afrīqī, Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Mandzūr, Lisān al-‘Arab, jilid 3, Beirut: Dār al-Shadr, 1994

× Al-Zarkasyī, Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah al-Syāfi’ī, al-Bahr al-Muhīth fī Ushūl al-Fiqh, al-Thab’ah al-Tsāniyah, 1992

× Al-Dīn. Muhammad Mahdī Syams, al-Ijtihād wa al-Tajdīd fī al-Fiqh al-Islāmī, Beirut: al-Dauliyyah al-Muassasah, al-Thab’ah al-Ūlā, 1999

× Al-Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad, al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām,’Allaqa ‘alaih al-‘Allāmah al-Syeik ‘Abd al-Razzāq ‘Afīfī, jilid 4, Riyādh: Dār al-Shamī’ī, 2003Muhammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, Kairo: Dār al-Hadīts, 1996

× Al-Dimasyqī, ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’ Ismā’il ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, al-Thab’ah al-Ūlā, Tahqīq Mushthafā al-Sayyid Muhammad, Muhammad Fadl al-‘Ajmārī, Muhammad al-Sayyid Rasyād, ‘Alī Ahmad ‘Abd al-Bāqī, Hasan ‘Abbās Quthb, Muassasah Qurthubah, 2000

× ‘Umar, Muhammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn ibn al-‘Allāmah Dhiya’ al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī al-Musytahid bi al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, Beirut: Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1981, jilid 13

× Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsīr al-Marāghī, Syarikah Maktabah wa Math’amah Mushthafa al-Bābī al-Halabī wa Aulādih bi Mishra, al-Thab’ah al-Ūlā, 1946, hal. 215

× Al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr, al-Jāmi’ al-Ahkām al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, Muassasah al-Risālah, al-Thab’ah al-Ūlā, 2006

× Hazm, Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa’īd ibn, Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Dār Āfāq al-Jadīdah, jilid 8, t.th.

× Al-Sijistānī, Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats, Sunan Abī Dāwud, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, 1994

× Al-Naisāburī, Abu Husain Muslim ibn Hajjāj al-Qusyairī, Shahīh Muslim, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, 1992

× Al-‘Umrī, Nādiyah Syarīf, Al-Ijtihād Fī al-Islām Ushūluh Ahkāmuh Āfāquh, Muassasah al-Risālah, al-Thab’ah al-Tsālitsah, 1986

× Al-Taftazānī, Sa’d al-Dīn, Hāsyiyah al-Sa’d al-Taftazānī ‘Alā Mukhtashar Ibn al-Hājib, jilid 2

× ‘Ala’ al-Dīn Abī al-Hasan ‘Alī ibn Sulaimān al-Mardāwī al-Hambalī, Al-Tahbīr Syarh al-Tahrīr fī Ushūl al-Fiqh, Dirāsah wa Tahqīq ‘Abd al-Rahmān ibn Abd Allah al-Jibrīn, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, jilid 1, t.th.

× Al-Ghazālī, Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, jilid 2, Dār al-Fikr, t.th.

× Zuhaili, Wahbah, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1986

× Al-Syaukānī, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Irsyād al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushūl, Surabaya: Idārah Thabā’ah al-Munīrah, t.th.

× Bik, Ahmad Ibrahim, ‘Ilm Ushūl Fiqh wa Yalih Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, Kairo: Dār al-Anshār, 1939

× Khalaf, ‘Abdul Wahhāb, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Qalam, 1978

× Zahrah, Muhammad Abu, Ushūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th.

× Al-Syāthibī, Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, jilid 4, Dār al-Fikr, t.th.

× Al-Qurthūbī, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, Jilid 14, al-Thab’ah al-Ūlā, Muassasah al-Risālah, 2006

× Al-Syāfi’ī, Muhammad ibn Idris, Al-Risālah, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th

× Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, I’lām al-Muwāqi’īn ‘an Rabb al-Ālamīn, terjemah Kamaluddin Sa’diyatul Haramain, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000

× Al-Qarādhāwī, Yusuf, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996

× __________________, al-Mubasysyarāt bi al-Intishār al-Islām, Kairo: MaktabahWahbah, 2004

× Salmān Abu ‘Abīrah Masyhū ibn Hasan Ali, I’lām al-Muwāqi’īn ‘An Rabb al-‘Ālamīn, jilid 1, Riyadh: Maktabah Ibn al-Jauzī, al-Thab’ah al-Ūlā, 1423, hal 66


[1] Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Mandzūr al-Afrīqī, Lisān al-‘Arab, jilid 3, Beirut: Dār al-Shadr, 1994, hal. 133. Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr al-Muhīth fī Ushūl al-Fiqh, al-Thab’ah al-Tsāniyah, 1992, hal. 197. Selanjutnya diringkas al-Bahr al-Muhīth. Muhammad Mahdī Syams al-Dīn, al-Ijtihād wa al-Tajdīd fī al-Fiqh al-Islāmī, Beirut: al-Dauliyyah al-Muassasah, al-Thab’ah al-Ūlā, 1999, hal. 39

[2] Lihat pengertian ijtihad menurut al-Amidi dalam Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām,’Allaqa ‘alaih al-‘Allāmah al-Syeik ‘Abd al-Razzāq ‘Afīfī, jilid 4, Riyādh: Dār al-Shamī’ī, 2003, hal. 197. Selanjutnya diringkas al-Ihkām.

[3] Muhammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, Kairo: Dār al-Hadīts, 1996, hal. 224. Selanjutnya diringkas Al-Mu’jam al-Mufahras.

[4] وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُواْ أَهَـؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُو

[5] وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِن جَاءتْهُمْ آيَةٌ لَّيُؤْمِنُنَّ بِهَا قُلْ إِنَّمَا الآيَاتُ عِندَ اللّهِ وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءتْ لاَ يُؤْمِنُونَ

[6] وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ بَلَى وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً وَلـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

[7] وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّ قُل لَّا تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَّعْرُوفَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

[8] وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِن جَاءهُمْ نَذِيرٌ لَّيَكُونُنَّ أَهْدَى مِنْ إِحْدَى الْأُمَمِ فَلَمَّا جَاءهُمْ نَذِيرٌ مَّا زَادَهُمْ إِلَّا نُفُوراً

[9] Muhammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Al-Mu’jam al-Mufahras, hal. 224

[10] الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

[11] Qs. Al-An’ām: 109

[12] ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’ Ismā’il ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, al-Thab’ah al-Ūlā, Tahqīq Mushthafā al-Sayyid Muhammad, Muhammad Fadl al-‘Ajmārī, Muhammad al-Sayyid Rasyād, ‘Alī Ahmad ‘Abd al-Bāqī, Hasan ‘Abbās Quthb, Muassasah Qurthubah, 2000, hal, 134

[13] Muhammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn ibn al-‘Allāmah Dhiya’ al-Dīn ‘Umar, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī al-Musytahid bi al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, Beirut: Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1981, jilid 13, hal. 150

[14] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī, Syarikah Maktabah wa Math’amah Mushthafa al-Bābī al-Halabī wa Aulādih bi Mishra, al-Thab’ah al-Ūlā, 1946, hal. 215

[15] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jāmi’ al-Ahkām al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, Muassasah al-Risālah, al-Thab’ah al-Ūlā, 2006, hal. 493

[16] Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa’īd ibn Hazm, Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Dār Āfāq al-Jadīdah, jilid 8, t.th., hal. 133

[17] Al-Hāfizh Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, 1994, hal. 212

[18] Abu Husain Muslim ibn Hajjāj al-Qusyairī al-Naisāburī, Shahīh Muslim, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, 1992, hal 528

[19] Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām Ushūluh Ahkāmuh Āfāquh, Muassasah al-Risālah, al-Thab’ah al-Tsālitsah, 1986, hal. 18. Selanjutnya diringkas Al-Ijtihād Fī al-Islām.

[20] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 197. Sa’d al-Dīn al-Taftazānī, Hāsyiyah al-Sa’d al-Taftazānī ‘Alā Mukhtashar Ibn al-Hājib, jilid 2, hal. 289. Lihat juga Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, hal. 19

[21] Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr al-Muhīth, hal. 197

[22] ‘Ala’ al-Dīn Abī al-Hasan ‘Alī ibn Sulaimān al-Mardāwī al-Hambalī, Al-Tahbīr Syarh al-Tahrīr fī Ushūl al-Fiqh, Dirāsah wa Tahqīq ‘Abd al-Rahmān ibn Abd Allah al-Jibrīn, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, jilid 1, t.th., hal. 3865. Selanjutnya diringkas Al-Tahbīr Syarh al-Tahrīr.

[23] Tāj al-‘Arūsy, jilid 2, hal 329-...

[24] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, jilid 2, Dār al-Fikr, t.th., hal. 362. Selanjutnya diringkas al-Mustashfā.

[25]بذل الطاقة من الفقيه في تحصيل حكم شرعي

[26] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, hal. 54 dalam Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1986, hal . 1038. Selanjutnya diringkas Ushūl al-Fiqh al-Islāmī.

[27] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 197

[28]استفراغ الوسع في طلب الظن بشيئ من الأحكام الشريعة على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد عليه

[29] Dalil Qath’ī artinya dalil atau nash yang tidak mengandung makna ganda atau makna lain selain makna yang zhahir tersurat dan mudah untuk dipahami. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1986, hal . 1038

[30] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 197-198

[31] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukānī, Irsyād al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushūl, Surabaya: Idārah Thabā’ah al-Munīrah, t.th., hal. 220. Selanjutnya diringkas Irsyād al-Fuhūl. Ahmad Ibrahim Bik, ‘Ilm Ushūl Fiqh wa Yalih Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, Kairo: Dār al-Anshār, 1939, hal. 106. Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr al-Muhīth, hal. 197

[32] Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr al-Muhīth, hal. 197

[33] ‘Abdul Wahhāb Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Qalam, 1978, hal. 52

[34] Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th., hal. 301

[35] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, jilid 4, Dār al-Fikr, t.th., hal. 47-90. Selanjutnya diringkas al-Muwāfaqāt.

[36] Qs. Al-Baqarah: 286

[37] Qs. Al-Taghābun: 16

[38] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2, hal. 168

[39] Qs. Al-Nisā: 83 (وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ)

[40] Qs. Al-Nisā: 105 (إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً)

[41] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1039

[42] Qs. Al-Ra’d: 3 ( إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ)

[43] Qs. Al-Ra’d: 4 ( إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ)

[44] Qs. Al-Hijr: 75 ( إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّلْمُتَوَسِّمِينَ)

[45] Qs. Al-Hijr: 2 ( فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ)

[46] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 201

[47] Qs. Ali ‘Imran: 159 ( وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ)

[48] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 201

[49] Qs. Al-Anbiyā: 79 (فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلّاً آتَيْنَا حُكْماً وَعِلْماً)

[50] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthūbī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, Jilid 14, al-Thab’ah al-Ūlā, Muassasah al-Risālah, 2006, hal. 234

[51] وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

[52] Muhammad ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th, hal. 488. Selanjutnya diringkas Al-Risālah.

[53] Abu Husain Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī, Shahih Muslim, jilid 2, hal. 123. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1039

[54] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2, hal. 168

[55] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwāqi’īn ‘an Rabb al-Ālamīn, terjemah Kamaluddin Sa’diyatul Haramain, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000, hal. 165

[56] Sariyyah adalah perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah SAW. Sebaliknya perang yang diikutii Rasulullah SAW. disebut dengan Ghazwah

[57] Qs. Al-Nisā: 29 (وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً)

[58] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1039-1040

[59] Fardhu kifayah artinya kewajiban apabila telah ada yang melakukannya, maka kedudukan wajibnya gugur tau kewajiban yang hanya dibebankan kepada sebagian orang saja, bukan muslim seluruhnya.

[60] Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996, hal. 78-79. Selanjutnya diringkas al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah.

[61] Muhammad ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah, hal. 477. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1040

[62] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, hal. 54 dalam Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1038

[63] Abu ‘Abīrah Masyhū ibn Hasan Ali Salmān, I’lām al-Muwāqi’īn ‘An Rabb al-‘Ālamīn, jilid 1, Riyadh: Maktabah Ibn al-Jauzī, al-Thab’ah al-Ūlā, 1423, hal 66

[64]Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1040

[65] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, hal. 96. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1040

[66] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1041-1042

[67] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, hal. 47

[68] Ibid, hal. 93

[69] Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, hal. 5

[70] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, hal. 105-106

[71] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 198

[72] ‘Ala’ al-Dīn Abī al-Hasan ‘Alī ibn Sulaimān al-Mardāwī al-Hambalī, Al-Tahbīr Syarh, hal. 3870

[73] Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, hal. 15-49

[74] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, hal. 351

[75] Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, jilid 2, hal. 2-5

[76] Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, jilid 4, hal. 161

[77] Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, hal. 104

[78] Al-Qarāfī, al-Ahkām fī Tamyīz al-Fatāwā ‘an al-Ahkām, hal. 249, dalam Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, hal. 105

[79] Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, hal. 105

[80] Al-Imam al-Qarāfī, al-Furūq,al-Thab’ah al-Ūlā, 1344 H, jilid 2. Hal. 110

[81] Qs. Al-Ahzāb: 23

[82] Qs. Al-Shaff: 2-3

[83] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, hal. 103

[84] Qath’ī al-Tsubūt artinya nash (teks) yang dipastikan sumbernya dari Allah SWT. Teks al-Qur’an yang kita baca sekarang sama dengan nash yang diturunkan kepada rasul-Nya SAW., tanpa mengalami perubahan sedikit pun karena diwariskan secara mutawatir (terjamin) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dari segi indikasinya terhadap hukum, ayat Al-Qur’an dibagi atas dua klasifikasi. Pertama, Qath’ī al-Dilālah, yaitu teks yang berindikasi hanya satu pengertian, tidak mungkin diberi interpretasi lain dari makna harfiahnya. Contohnya ayat-ayat yang menerangkan hukum waris yang menjelaskan bahwa bagian suami yang tidak punya anak adalah separo dari warisan, bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan, hukum hudūd, dan yang lainnya. Kedua, Zhannī al- Dilālah, yaitu nash yang menunjukan satu makna, tapi mungkin ditakwil untuk makna yang lainnya. Contohnya kata quru’ dalam Al-Qur’an, dalam bahasa arab berarti haid atau bersih. Sebagian ‘ulama mema


0 komentar:

Post a Comment

Cara Berkomentar untuk yang tidak memiliki blog:
1. Klik selec profile --> pilih Name/URL
2. Isi nama kamu dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat fb kamu
3. Klik Lanjutkan
4. Ketik komentar kamu dan publish
Terima Kasih!

Ikuti Kami di Sosial Media

Facebook  Twitter  Google+ Instagram Yahoo RSS Feed

Terpopuler

.comment-content a {display: none;}