Oleh: Resti Yustiani Surawisastra
(SM-3T UPI Aceh Timur-Julok Rayeuk Utara)
Kisah ini merupakan cerita beberapa siswa
di SDN 5 Julok Rayeuk Utara yang lebih dikenal dengan sebutan “anak selatan”.
Anak selatan merupakan sebutan untuk seluruh anak yang tinggal di daerah yang
dinamakan selatan yang bersekolah di SDN 5 Julok Rayeuk Utara, sekitar 5-7 km
jarak daerah tersebut dari SDN 5 Julok Rayeuk Utara. Hampir 50% siswa di
sekolah ini berasal dari daerah selatan. Total anak selatan yang bersekolah di
SDN 5 Julok Rayeuk Utara ialah sekitar 18 siswa, sehingga bisa kita perkirakan
berapa jumlah seluruh siswa SDN 5 Julok Rayeuk Utara. Ayooo sekarang tebak
berapa jumlah seluruh siswa Sekolah ini?. Yaaa... tidak lebih dari 40 jumlah
siswa yang bersekolah di SDN 5 Julok Rayeuk Utara. Dan tidak lebih dari 25 siswa yang datang ke
sekolah setiap harinya. Walaupun sebenarnya yang saya tahu bahwa kepala sekolah
menyebutkan jumlah siswa di sekolah tersebut sekitar 70 orang, mungkin 30 siswa
lainnya itu adalah bayangan dari 40 siswa yang ada hehehe. Dengan berbagi
alasan setiap harinya selalu saja banyak siswa yang tidak datang ke sekolah.
Pernah suatu hari hanya 10 orang yang hadir karena seluruh anak selatan tidak
masuk sekolah hari itu. Setiap musim hujan memang anak selatan jarang sekali masuk
sekolah. Jarak yang harus mereka lalui dengan berjalan kaki membuat mereka
lebih memilih tidak masuk sekolah saat hujan turun di pagi hari.
Gambar salah jalan becek
yang biasa anak-anak selatan lewatin ketika berpergian ke sekolah
Begitu malu diri ini saat melihat semangat
anak-anak selatan yang setiap hari harus menempuh jarak 5-7 km atau kurang
lebih satu jam perjalanan untuk sampai ke sekolah dengan berjalan kaki menembus
lebatnya Hutan karet dan kelapa sawit disertai dengan basahnya tanah julok. Jam
sudah menunjukan pukul 07.30 WIB, setiap hari di jam itu tak sabar rasanya saya
untuk mengintip di sela-sela jendela kamar melihat anak-anak selatan yang
dengan ceria berlarian menuju halaman belakang Mesjid Baiturahman. Jangan
berpikir Mesjid Besar Baiturahman yang ada di Banda Aceh yaaa... tapi Mesjid
ini berada tepat didepan rumah yang menjadi tempat tinggal saya selama satu
tahun kedepan. Mesjid ini tak jauh dari sekolah, yaaa.. memang tidak jauh
karena jelas sekolah berada tepat dibelakang rumah tempat tinggal saya. Aneh
memang, tempat pertama yang mereka tuju bukanlah sekolah melainkan halaman
belakang Mesjid dimana terdapat bak ukuran besar tempat menampung air.
Disanalah mereka terlihat berebutan mengambil air dengan gayung untuk
membersihkan kaki-kaki mungil mereka yang terselimuti lumpur bercampur segala
jenis kotoran dan bakteri yang menempel sewaktu mereka berjalan
kaki menuju sekolah.
Gambar Mesjid Baiturrahman
Anak-anak selatan lebih mudah dibedakan
dari anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah. Mereka lebih terlihat lusuh
karena pakaian yang mereka kenakan sering kali disimpan dalam keadaan kusut
didalam tas. Aroma yang khas dari anak selatan adalah aroma keringat yang
muncul akibat lelahnya perjalanan menuju sekolah dengan berjalan kaki sejauh 5
km setiap harinya. Kulit yang kasar dan terlihat beberapa luka baik itu di
tangan atau kaki yang seringkali disebabkan oleh terkena batang kayu yang tajam
atau pecahan kaca di jalan saat mereka berjalan tanpa alas kaki. Tidak hanya
luka di kaki mereka pun sering terlihat borok dan peyakit kulit lainnya. Hal
lucu lainnya yang sering saya temukan pada jam sekolah adalah beberapa anak
akan menjawab lupa membawa sepatu saat saya bertanya kenapa mereka tidak
mengenakan sepatu ke sekolah. Mungkin terdengar aneh untuk beberapa orang yang
terbiasa mengajar di kota dimana siswa-siswa nya lebih menjaga penampilan
mereka. Tapi hal ini benar-benar terjadi, bukan hanya Buku PR atau alat tulis
yang tertinggal tetapi di tanah julok ini siswa lebih sering tertinggal sepatu
di rumah.
Gambar Bak mandi yang biasa dipakai anak-anak selatan
membersihkan kaki mereka
Gambar anak selatan baru tiba disekolah dari rumah
mereka
Mungkin sering kita dengar tentang siswa
yang tidak mengenakan alas kaki saat pergi ke sekolah di beberapa daerah di
Indonesia. Tapi jujur baru kali ini saya melihat secara langsung dengan kedua
mata saya hal itu benar-benar terjadi dan bukan lagi sebuah cerita yang hanya
saya dengar, saya lihat di televisi atau saya baca di beberapa surat kabar.
Awalnya begitu terkoyak hati ini saat melihat siswa dengan santai berjalan di
atas rumput basah yang di beberapa bagian rumput terdapat kotoran lembu
berwarna hitam yang nampak lembek terkena siraman air hujan mirip seperti
adonan kue hehehe. Mereka tampak biasa saja tanpa merasa jijik saat harus
menginjak kotoran lembu yang basah itu dengan kaki mereka tanpa menggunakan
alas kaki alias nyeker hehehehe. Kawasan sekolah mungkin lebih tepat disebut
sebagai “WC lembu” karena hampir disetiap tempat, kita akan menjumpai lembu
berkeliaran dan membuang kotoran dimana saja. Hujan memang belakangan ini
sering mengguyur kawasan SDN 5 Julok Rayeuk Utara dan Aceh Timur secara umum
sehingga membuat tanah menjadi basah, becek dan kotoran lembu ikut menjadi
basah pula. Memasuki bulan Oktober ini merupakan awal dari musim hujan dan
menurut masyarakat setempat pertengahan
Desember-Januari merupakan puncak musim hujan. Puncak musim hujan sering kali
menyebabkan beberapa tempat terkena banjir dan sebagian besar jalan tertutup
tanah lumpur yang menyulitkan masyaratakat untuk melewati jalan tersebut.
Sekitar dua tahun lalu daerah ini cukup ramai dihuni warga namun setelah banjir
bandang yang merusak rumah warga sekitar bulan januari 2012 lalu banyak warga
yang memilih meninggalkan desa ini untuk pindah ke desa lainnya.
Gambar anak-anak lagi senam pagi
Melihat banyak sekali anak yang lebih
senang nyeker membuat saya penasaran mencari tahu alasan mereka lebih memilih
untuk “bernyeker ria” hehehe. Rasa penasaran yang begitu besar inilah yang
membuat saya mencari tahu alasan mengapa anak-anak itu lebih senang bermain,
berjalan, dan melakukan keseharian mereka tanpa mengenakan alas kaki. Sempat
terlintas untuk menanyakan alasan kenapa anak-anak lebih senang beraktivitas
tanpa alas kaki kepada guru-guru di sekolah tersebut. Namun niat itu seketika
sirna ketika saya menyadari bahwa guru-guru di sekolah tersebut lebih senang
nyeker juga ketika berada di ruang kantor.
Gambar anak-anak selatan
berganti baju biasa saat pulang sekolah
Suatu hari ketika jam pelajaran matematika
di kelas IV saya memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu siswa
dikelas tersebut. “Randa, kenapa kamu tidak pakai sepatu?” jawaban yang
mengagetkan sekaligus membuat saya sedih ketika anak itu menjawab “jalanan payah
bu kalau hujan, berlumpur, jadi dari pada sepatu saya kotor mending saya ga
pakai sepatu aja”. Miris memang mendengar jawaban seperti itu keluar dari mulut
seorang siswa SD. Mereka lebih mencintai sepatu mereka dari pada kaki mereka.
Apalagi mendengar jawaban yang mengatakan harga sepatu itu mahal, kalau sepatu
saya rusak saya tidak bisa membeli sepatu baru. Apa pemikiran seperti ini hanya
muncul pada anak-anak yang berasal dari keluarga yang ekonomi nya menengah
kebawah sehingga mereka lebih memikirkan harga sepatu dibandingkan keselamtan
kaki mereka. Padahal jauh lebih penting bila mereka tahu bahwa pentingnya
menggunakan alas kaki, karena apabila kaki sudah rusak apakah masih bisa kita
membeli kaki baru untuk menggantikan kaki yang rusak itu. Dan apa mereka tahu
biaya yang lebih besar bila diandingkan harga sepatu yang harus mereka
keluarkan untuk melakukan operasi atau kegiatan medis lainnya bila kaki mereka
terluka. Yaaa mungkin pemikiran mereka belum sampai sejauh itu.
Dalam beberapa kesempatan saya sering
menasihati seluruh siswa untuk mengenakan sepatu. Kebetulan hari itu saya
ditugaskan menjadi pembina upacara bendera di SDN 5 Julok Rayeuk Utara.
Pandangan mata saya tertuju pada beberapa anak yang berbaris di barisan depan.
Mereka tampak bersenda gurau saat upacara bendera. Bukan gerakan tangan atau
obrolan mereka yang menjadi pusat perhatian saya saat itu. Tapi bagian bawah
badan mereka yang menjadi perhatian saya, lucu sekali pagi itu sekitar 7 anak
dari 25 anak yang tidak mengenakan sepatu. Terlintas pemikiran saya untuk
menyelipkan nasihat mengenai pentingnya menggunakan sepatu pada saat saya
memberikan amanat dan pesan pembina upacara. Tidak hanya saat upacara bendera
saya memberikan nasihat dan informasi mengenai pentingnya menggunakan sepatu.
Setiap kali saya mengajar tak lupa saya selalu mengingatkan mereka untuk
mengenakan sepatu. Hal itu saya lakukan terus menerus setiap hari tanpa bosan.
Dan lucunya mereka akan melepas lagi sepatu mereka saat jam istirahat dan tidak
menggunakannya dihari berikutnya. Huft memang lelah mengingatkan sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan seseorang.
Gambar siswa saat melaksanakan senam seribu
Pada gambar diatas terlihat beberapa siswa tidak mengenakan sepatu
saat mengikuti latihan upacara bendera, senam seribu dan kegiatan lainnya.
Pernah terlintas dalam pikiran saya untuk mengadakan program sepatu boot untuk
anak selatan. Hal tersebut saya maksudkan agar anak selatan tidak harus nyeker
saat berjalan kaki menuju sekolah. Dan agar tidak ada alasan lagi mereka
mengatakan tidak memakai sepatu karena jalanan yang payah sehingga takut
membuat sepatu mereka rusak. Namun belum ada keberanian saya untuk menyampaikan
ide tersebut kepada kepala sekolah. Mudah-mudahan secepatnya keberanian saya
muncul dan kaki-kaki anak selatan tidak akan lagi terbalut lumpur dan tertusuk
ranting di hutan julok. (rst)
Bersambung...
bagus sekali info nya sangat menarik
ReplyDeleteterimakasih gan